Konstruktivisme
Jika realisme dan liberalisme berfokus pada faktor-faktor yang bersifat material (kasat mata) seperti power dan perdagangan maka konstruktivis berfokus pada ide. Konstruktivis memberikan perhatiannya pada kepentingan dan identitas negara sebagai produk yang dapat dibentuk dari proses sejarah yang khusus. Mereka memberi perhatian pada wacana umum yang ada ditengah masyarakat karena wacana merefleksikan dan membentuk keyakinan dan kepentingan, dan mempertahankan norma-norma yang menjadi landasan bertindak masyarakat (accepted norms of behavior). Dengan demikian konstruktivis memberi perhatian pada sumber-sumber perubahan (sources of change). Dengan pendekatannya yang demikian maka konstruktivis menggantikan marxisme sebagai the preeminent radical perspective di dalam hubungan internasional.
Negara menurut konstruktivisme
Menurut konstruktivisme, setiap tindakan negara didasarkan pada meanings yang muncul dari interaksinya dengan lingkungan internasional.Setiap bentuk tindakan negara misalnya melakukan perang atau menjalin hubungan baik, ataupun memutuskan hubungan dan bahkan tidak melakukan hubungan dengan negara lain, semuanya didasarkan oleh meanings yang muncul dari interaksinya dengan negara-negara atau lingkungan internasionalnya. Tindakan negara terhadap musuhnya tentulah berbeda dengan tindakan terhadap temannya. Negara akan memberikan ancaman terhadap musuhnya dan tentu tidak terhadap temannya.
Tindakan negara dalam pandangan konstruktivisme memberikan pengaruh terhadap bentuk sistem internasional, sebaliknya sistem tersebut juga memberikan pengaruh pada perilaku negara-negara. Dalam proses saling mempengaruhi itu terbentuklah apa yang disebut dengan collective meanings. Collective meanings itulah yang menjadi dasar terbentuknya intersubyektifitas dan kemudian membentuk struktur dan pada akhirnya mengatur tindakan negara-negara.
Tindakan negara dalam pandangan konstruktivisme memberikan pengaruh terhadap bentuk sistem internasional, sebaliknya sistem tersebut juga memberikan pengaruh pada perilaku negara-negara. Dalam proses saling mempengaruhi itu terbentuklah apa yang disebut dengan collective meanings. Collective meanings itulah yang menjadi dasar terbentuknya intersubyektifitas dan kemudian membentuk struktur dan pada akhirnya mengatur tindakan negara-negara.
Ide Dalam Hubungan Internasional
Konstruktivis dibangun dari basis ide, norma, budaya, dan nilai. Atas dasar itulah konstruktivis digolongkan ke dalam teori idealis. Formulasi teoritik konstruktivis menyatakan bahwa lingkungan sosial menentukan bentuk identitas aktor. Identitas kemudian menentukan kepentingan, dan kepentingan akan menentukan bentuk tingkah laku, aksi ataupun kebijakan dari aktor. Pada tahap berikutnya identitas juga akan mempengaruhi bentuk dari lingkungan sosial. Konstruktivis memberikan perhatian kajiannya pada persoalan-persoalan bagaimana ide dan identitas dibentuk, bagaimana ide dan identitas tersebut berkembang dan bagaimana ide dan identitas membentuk pemahaman negara dan merespon kondisi di sekitarnya.
Menurut perspektif konstruktivis, isu-isu utama di era pasca perang dingin berkait dengan persoalan-persoalan bagaimana kelompok-kelompok sosial yang berbeda-beda conceive (menyusun dan memahami) kepentingan dan identitas mereka. Konstruktivis memberikan perhatian kajiannya pada persoalan-persoalan bagaimana ide dan identitas dibentuk, bagaimana ide dan identitas tersebut berkembang dan bagaimana ide dan identitas membentuk pemahaman negara dan merespon kondisi di sekitarnya.
Salah satu karakteristik dari konstruktivisme adalah non-universalis. Tidak ada ketunggalan analisa atas fenomena. Walt mencontohkan jika Wendt berfokus pada persoalan bagaimana anarki dipahami oleh negara-negara, maka kalangan konstruktivis lain menekankan pada persoalan-persoalan masa depan negara teritorial. Mereka menyatakan bahwa komunikasi transnasional dan penyebaran nilai-nilai civil (civic values) mengubah loyalitas national tradisional dan secara radikal menghasilkan bentuk-bentuk baru ikatan politik (political association).
Social Constructivism: Bridging The Gap
Jika kita mengikuti pola pembagian yang dilakukan oleh Lapid dia atas maka di dalam bagan, ketiga kelompok besar tersebut.
Posisi konstruktivisme yang berada di antara rasionalisme dan reflektivisme bagi Smith memberikan keuntungan sendiri karena dapat menjadi jembatan yang menghubungkan kedua belah pihak yang saling “bertikai” dan sulit mencapai kesepahaman.
Untuk melengkapi penjelasan Walt di atas mengenai konstruktivisme ada baiknya untuk melihat beberapa inti dari pemikiran Alexander Wendt. Menurut Wendt, bagi neo-realis maupun neo-liberalis identitas dan kepentingan merupakan sesuatu yang given, sesuatu yang sudah ada begitu saja. Wendt tidak mempercayainya demikian, ia melihat bahwa identitas dan kepentingan merupakan hasil dari praktek inter-subjektif di antara aktor-aktor. Dengan kata lain identitas dan kepentingan merupakan hasil dari sebuah proses interaksi. Walaupun neo-realis dan neo-liberalis mengakui bahwa proses interaksi mempengaruhi perilaku aktor-aktor namun tidak bagi identitas dan kepentingan.
Selain itu Wendt juga menyatakan bahwa collective meaningmenentukan struktur yang mengatur tindakan-tindakan kita. Dan aktor-aktor memperoleh kepentingan dan identitasnya melalaui pertisipasi di dalam collective meaning tersebut. Identities and interests are relational and are defined as we defined situations.
Dari sini terlihat makin jelas bahwa berbeda dengan (neo) realisme dan (neo) liberalisme, konstruktivisme memberikan penjelasan yang berbeda dalam menganalisa fenomena sosial, khususnya fenomena internasional. Konstruktivis melihat fenomena sosial merupakan hasil bentukan dari interaksi antar aktor-aktor internasional, sebaliknya dengan realisme dan liberalisme. Yang melihat ada unsur-unsur yang ada begitu saja tanpa campur tangan aktor-aktor internasional (given).
Model analisa yang diberikan oleh konstruktivisme ini tidak dapat dilepaskan pengaruhnya dari perkembangan tren wacana sosial dewasa ini yang lebih banyak menitikberatkan pada persoalan-persoalan “dunia ide” yang menitikberatkan pada persoalan-persoalan konstruksi sosial atas realitas. Perkembangan teori-teori model ini tidak dapat dilepaskan pengaruhnya dari sekelompok ilmuwan sosial Jerman yang dikenal sebagai Mahzab Frankfurt (Frankfurt School) dimana salah satu pemikir terkenalnya adalah Juergen Habermas. Dari Mahzab Frakfurt ini kemudian berkembang teori-teori reflektivisme dengan berbagai variannya.
Jika dikaitkan dengan jaman kekinian, dimana mobilitas dan jumlah informasi yang berseliweran sehari-hari sangat tinggi (information age), teori ini memiliki relevansi yang sangat signifikan. Karena saat ini kekuasaan tidak lagi dilanggengkan dengan kekuatan senjata semata melainkan juga melalui media-media informasi yang dapat mengonstruksi kesadaran masyarakat.
Further reading : Intenational Relations Theory for the Twenty- First century.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar