Saya
bertanya kepada teman-teman pengajar yang bersikap kritis kepada
pemimpin di Universitas Indonesia, di tengah sikap diam,
ketidakpedulian, dan tekanan. Jawabnya: mereka bukan manusia sempurna,
tetapi sebagai guru akan terus mencoba mengajarkan yang baik kepada
mahasiswa.
Perguruan
tinggi diisi oleh kumpulan ”mahaguru” yang mendidik ”mahasiswa”, punya
amanah besar mencerdaskan manusia yang sekaligus berhati nurani tinggi.
Tata kelola yang baik menjadi prasyarat komunitas akademik yang sehat,
yang memungkinkan dikembangkannya pengetahuan, bukan untuk kepentingan
sendiri atau mendukung status quo, melainkan untuk memajukan peradaban
dan kemanusiaan.
Berdasarkan
penelitian mengenai kecenderungan global pengelolaan pendidikan tinggi
(Fielden, 2008), di negara-negara tempat tata kelola pendidikan tinggi
berjalan baik, ada protokol atau petunjuk tata kelola yang wajib
diikuti. Protokol menjelaskan peran dan tanggung jawab dewan pengurus
serta eksekutif, nilai-nilai dan kode etik, delegasi kekuasaan,
transparansi, serta manajemen risiko dan prosedur pengendalian kualitas
(Henard, 2009).
Jacob
and Rust (2010) melaporkan Lokakarya Internasional Reformasi Pendidikan
Tinggi yang membahas tanggung jawab institusi dan sosial dari
pendidikan tinggi, pengelolaan anggaran sekaligus peningkatan
akuntabilitas, serta penetapan prinsip tata kelola yang baik. Tata
kelola yang baik menyangkut koordinasi, alur informasi, transparansi dan
akuntabilitas. Tercakup di dalamnya partisipasi aktif dari komunitas
dan pemangku kepentingan.
Psikologi ”hal buruk”
Kita
harus mengupayakan yang baik justru karena beberapa studi membuat kita
mengerti mengenai ”psikologi hal buruk”. Transformasi karakteristik
manusia dari ”baik” menjadi ”buruk” cepat terjadi apabila manusia
ditempatkan dalam situasi buruk dan tidak manusiawi (Zimbardo, 1973),
mengalami tekanan sosial (Arendt, 1963), atau takut pada tokoh otoritas
dan memilih patuh meski harus menyakiti orang lain (Milgram, 1963,
1974).
Penelitian
juga menunjukkan betapa besar peran dari pengamat. Pengamat yang tahu
terjadinya kesalahan, tetapi diam saja karena berbagai alasannya, pada
akhirnya membiarkan, bahkan memfasilitasi hal-hal buruk untuk tetap
terjadi. Temuan di atas dapat menjelaskan bagaimana fakta buruk
ditutupi, kebohongan, kecurangan, pemutarbalikan fakta, kompetisi tidak
sehat, dan penyelewengan kekuasaan terus terjadi serta dibiarkan.
Mengapa
orang banyak diam, penjelasannya ada pada antisipasi risiko. Zimbardo
menjelaskan, ada kebaikan yang tidak berisiko (misalnya punya uang lalu
memberi beasiswa). Ada pula yang berisiko, yang perlu perjuangan khusus
untuk melakukannya. Contohnya, kita melihat kebohongan dan penyelewengan
di tempat kerja kita serta ingin mengungkapkannya.
Yang
belakangan sepertinya sangat langka di Indonesia. Risiko terberat
mungkin justru sikap sinis dari lingkungan sekitar: mau sok pahlawan?
Memang kamu sendiri orang suci? Kok tega mengungkap persoalan internal
ke luar? Atau lebih parah lagi: terlempar dalam situasi konyol sebagai
”whistle blower” kemudian dikriminalisasi. Maka, orang lebih memilih
diam atau, sekaligus saja, mendukung yang sedang berkuasa. Argumentasi
pembenaran dapat dikembangkan: mengkritik yang mengungkap ketidakberesan
sebagai mencoreng nama institusi, mengklaim diri ”obyektif” dan
”netral” (meski jelas menguntungkan status quo), atau merasa sudah
bertindak benar sesuai dengan undang-undang atau peraturan.
Mengupayakan yang baik
Bagaimana
mengupayakan yang baik? Ya melalui tata kelola yang baik.
Lembaga-lembaga yang ada sebenarnya mikrokosmos Indonesia. Yang terjadi
di dalamnya menjadi cermin apa yang berlangsung di negara kita.
Sepertinya banyak pemimpin merasa lembaga yang dia pimpin adalah
”milik”-nya atau setidaknya punya privilese jauh lebih besar dari
pekerja biasa sehingga boleh melakukan apa pun untuk menguntungkan diri.
Meski di Indonesia sedikit pemimpin dapat diteladani, tentu ada
pemimpin baik. Pada akhir tahun 2011, ada berita menyejukkan mengenai
beberapa pejabat publik yang berani mengundurkan diri, juga Pak Jokowi
yang memberi teladan nyata bagaimana menghargai dan memotivasi generasi
muda untuk menjadi generasi pencipta.
Pemimpin
itu guru, dan guru seyogianya menjalankan amanah sebagai guru. Kata Ki
Hadjar Dewantara: Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, Tut
Wuri Handayani. Di depan harus dapat memberikan teladan yang baik; di
tengah aktif bekerja sama (tidak cuma menyuruh-nyuruh); dan dari
belakang mampu mengarahkan serta memotivasi.
Universitas
Indonesia juga mikrokosmos Indonesia. Sebagai barometer pendidikan
tinggi, wajib memimpin dalam menciptakan iklim yang mendukung
terbentuknya kejujuran dan watak pengabdian (Fuad Hassan, 1981). Apabila
yang terjadi justru sebaliknya, harus belajar di mana lagi generasi
muda tentang etika?
Inti
persoalan bukan perbedaan interpretasi peraturan atau elite berebut
kekuasaan. Di balik pembangunan fisik besar-besaran yang sangat dikagumi
kalangan luar, ada ketidakberesan tata kelola. Tidak ada transparansi,
akuntabilitas, dan pengawasan terkait dengan uang serta
keputusan-keputusan penting pemimpin. Malah peraturan pemerintah sengaja
diinterpretasi secara tidak utuh untuk berkelit dari
pertanggungjawaban. Lalu bagaimana bisa bicara tentang ”kebenaran,
kejujuran, dan keadilan” dalam membangun pengetahuan? Pembelajaran apa
yang diperoleh mahasiswa apabila mahagurunya membiarkan kebohongan,
tidak punya kepekaan sosial, serta tidak menunjukkan ”satu kata dan
perbuatan”?
Pada
akhirnya, meminjam frasa beberapa teman: ”kita boleh (dinilai) gagal
dalam (banyak) hal, tetapi tidak boleh gagal menjadi orang baik sesuai
nilai-nilai yang kita perjuangkan”. Selamat Tahun Baru, semoga tahun ini
diisi lebih banyak kerendahan hati sekaligus keberanian mengambil
risiko untuk memperjuangkan kebaikan.
Oleh: Kristi Poerwandari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar